Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 09.30
seorang pria berusia 70 tahun datang untuk membuka jahitan luka di ibu jarinya .
temanku menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter
terlihat masih sibuk. Mungkin bapak itu baru bisa ditangani 1 jam lagi
Sewaktu menunggu bapak itu terlihat sangat gelisah,
sebentar bentar ia melirik jam tangannya. Aku merasa sangat kasihan dan aku
beranikan diri melihat lukanya , dan tampaknya cukup baik dan kering, tinggal membuka
jahitan dan memasang perban baru, pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga
atas persetujuan dokter, aku putuskan untuk membantu melakukannya.
Sambil menangani lukanya , aku bertanya apakah dia
mempunyai janji lain sehingga terlihat begitu terburu buru. Lelaki itu menjawab
tidak. Dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya , seperti
yang dilakukannya sehari hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di
sana sejak beberapa waktu, dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer, lalu aku
bertanya apakah istrinya akan marah jika dia datang terlambat. Dia menjawab
bahwa istrinya sudah tidak dapat mengenalinya lagi sejak 10 tahun terakhir. Aku
sangat terkejut dan berkata ,” Dan bapak masih pergi kesana setiap hari
walaupun istri bapak tidak mengenal bapak lagi?” dia tersenyum ketika tangannya
menepuk tanganku sambil berkata, “dia memang tidak mengenali saya tetapi, bukankah
saya tetap mengenali dia?”
Aku terdiam tanpa bisa berkata tak terasa ada yang
hangat di pipi
(from a book quoted by yonki)